Ketua dan Sekretaris Asosiasi Produsen Energi Biomasa Indonesia saat memberikan keterangan Pers di Gorontalo |
timurpost.id - Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) menyatakan industri biomasa merupakan investasi yang bermanfaat bagi masyarakat termasuk untuk mengatasi kemiskinan dan stunting khususnya di Gorontalo.
Namun terkendala adanya isu-isu yang menghambat, sehingga perlu membuka komunikasi antara perusahaan biomassa, masyarakat dan pemerhati lingkungan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI), Dikki Akhmar mengatakan, pihaknya dengan sikap terbuka, siap membuka komunikasi dengan masyarakat Gorontalo dan pemerhati lingkungan.
"Dari beberapa institusi pemerintah meminta asosiasi untuk membuka komunikasi dengan masyarakat Gorontalo dan pemerhati lingkungan sehubungan dengan adanya isu-isu yang menghambat pembangunan di Gorontalo yakni yang terkait dengan industri biomasa,” kata Dikki Akhmar dalam Forum Group Discussion Nasional di Gorontalo, Sulawesi, Kamis (19/9/2024).
Dikki menambahkan, perhatian pemerintah untuk mengatasi isu-isu negatif yang mengganggu industri biomassa itu karena disatu sisi pemerintah di Gorontalo sedang giat-giatnya mengatasi kemiskinan dan stunting.
Sementara, disisi lain adanya investasi industri biomassa yang menjadikan salah satu andalan Pemerintah Gorontalo dalam membantu mengatasi masalah kemiskinan dan stunting, dihambat oleh adanya provokasi pemerhati lingkungan FWI yang beranggapan bahwa Industri ini akan merusak lingkungan hidup khususnya kawasan Hutan Gorontalo.
“Asosiasi ingin mengharmonisasikan itu dengan menggelar Forum Group Discussion (FGD) dengan tema Membangun Gorontalo dengan Menjaga Etika Lingkungan," ujar Dikki.
"Kita bawa professor ahli bioenergi, Aparat hukum, dan Asosiasi Masyarakat Energi Biomassa Indonesia, serta dua regulator dari direktorat Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) untuk menjelaskan apa yang di khawatirkan terhadap risiko lingkungan itu tidak akan terjadi, karena ada tata cara kelola hutan yang perusahaan biomasa lakukan,” tambah.
Kalau ditemukan adanya pelanggaran, tentunya semua pihak termasuk KLHK akan mengambil tindakan.
APREBI juga sebagai asosiasi punya kewenangan sesuai AD/ART nya untuk menegur anggotanya bila melakukan pelanggaran, akan tetapi APREBI juga dapat memberikan perlindungan kepada anggotanya
Industri ini bukan dibangun dengan biaya yang murah, butuh investasi lebih dari 2 trilyun.
Dengan demikian perusahaan biomassa pasti menjaga keberlangsungan (sustainablity) bisnisnya, dan itu berarti mereka pasti mempertimbangkan keamanan dan perlindungan sosial masyarakat dan perlindungan ekosistem, sebagai syarat terjadinya sustainability.
“Dari sisi pengusaha, aparat hukum dan pemerintah sudah clear soal Sustainability pada industri-industri Biomassa yang ada di Gorontalo, tinggal LSM lingkungan yang berbeda penilaiannya,"
"Karena itu APREBI mengundang mereka seperti FWI, dan Japesda untuk hadir dalam kesempatan FGD ini, tetapi mereka lebih memilih tidak hadir. Rupanya mereka lebih memilih sentimen daripada argumen,” ujar Dikki.
Kontribusi Biomassa
Terkait kontribusi dari industri biomassa, Dikki mencontohkan PT Biomasa Jaya Abadi (BJA), Perusahaan produsen wood pellet (pellet kayu) di Gorontalo. PT BJA telah banyak menyerap tenaga kerja.
Dari 1.064 tenaga kerja yang dipekerjakan, 80 persen adalah warga lokal. Pekerja lokal yang direkrut, juga dibekali dengan pelatihan.
Bukan hanya itu, lanjut Dikki, pelaku industri ini juga membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) lebih dari Rp 40 miliar sejak beroperasi hingga tahun 2024.
Dari angka itu, 60 persen disalurkan ke pemerintah daerah yang selanjutnya akan dibagi 30 persen ke pemerintah provinsi dan sisanya untuk pemerintah kabupaten dimana industri beroperasi. Perusahaan juga menyalurkan CSR.
Sementara itu, Direktur Operasional PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) Burhanuddin menyebutkan bersama kedua mitranya selaku pemilik hak guna usaha (HGU), PT Inti Global Laksana dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL), PT BJA telah mengucurkan investasi lebih dari Rp 1,7 triliun yakni Rp 1,4 triliun di PT BJA, dan Rp 237,6 miliar di PT BTL serta Rp 107,2 miliar di PT IGL hingga Juni 2024.
“Investasi PT BJA ini berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta menyumbang penerimaan negara dalam dalam bentuk Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) serta menyumbang devisa hasil ekspor paling besar di Gorontalo," terangnya.
"Kucuran investasi tersebut ditujukan dalam rangka pembangunan dan operasional pabrik pengolahan wood pellet. Saat ini, PT BJA memiliki izin kapasitas produksi pelet kayu sebesar 900.000 ton per tahun,” kata Burhanuddin.
Data Ekspor Sesuai
Direktur Bina Pengolahan Pemasaran Hasil Hutan (BPPH) Direktorat Jendral Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Ristianto Pribadi memastikan tidak ada perbedaan data terkait dokumen V-Legal antara Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) milik KLHK dengan data ekspor PT Biomasa Jaya Abadi (BJA).
Pelaku usaha hasil hutan dengan tujuan ekspor pasti telah memenuhi berbagai sertifikasi dari hulu hingga hilir, termasuk di dalamnya Sertifikasi Verifikasi Legalitas Hasil Hutan (VLHH) dan dokumen V-Legal.
"Kami pastikan dari KLHK, pelaku usaha di sektor kehutanan saat ini sudah jauh lebih baik. Kalau sudah memenuhi sertifikasi, pasti hutannya lestari dan legal, bukan dari kayu abal-abal," ujar Ristianto.
Dedi Sarwoko, Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan di Direktorat BPPH Ditjen PHL KLHK menegaskan, ada 9 dokumen V-Legal di 2023 dan 11 dokumen V-Legal hingga akhir agustus 2024 milik PT BJA yang tercatat di SILK KLHK. Untuk data di 2022, Dedi mengaku belum melihatnya secara detail.
"Tapi, kalau PT BJA menyatakan sudah 22 kali ekspor, berarti termasuk data di 2022. Dari sini sudah terkonfirmasi bahwa jumlah ekspor wood pellet PT BJA memang sebanyak itu," ujar Dedi di hadapan jurnalis Gorontalo.
Pernyataan ini sekaligus membantah tudingan yang menyebut PT BJA telah melakukan ekspor wood pellet secara illegal, unreported, dan unregulated. Alasannya, adanya perbedaan data ekspor di SILK KLHK dengan pengakuan PT BJA.
Direktur PT BJA Burhanuddin mengatakan, hingga akhir Agustus 2024, PT BJA memiliki sebanyak 24 dokumen V-Legal yang telah disetujui dan tercatat dalam website silk.menlhk.go.id dan telah terbit untuk 22 shipment, yakni 2 shipment dengan 4 dokumen v-legal pada tahun 2022.
Kemudian, 9 shipment dengan 9 dokumen v-legal pada tahun 2023, dan 11 shipment dengan 11 dokumen v-legal hingga akhir agustus 2024Total volume ekspor mencapai 240.939 ton senilai US$ 33,2 juta.
Kementerian KLHK juga membantah tudingan bahwa PT BJA melakukan praktik curang karena hanya melaporkan dua jenis kayu alam, yakni Nyatoh dan Jambu-Jambu.
Dedi mengatakan, jenis kayu yang dilaporkan dalam dokumen V-Legal pada umumnya memang hanya mencantumkan jenis kayu yang dominan.
Lebih lanjut Ristianto Pribadi memastikan, pelaku usaha hasil hutan dengan tujuan ekspor pasti telah memenuhi berbagai sertifikasi dari hulu hingga hilir, termasuk di dalamnya Sertifikasi Verifikasi Legalitas Hasil Hutan (VLHH) dan dokumen V-Legal.
"Kami pastikan dari KLHK, pelaku usaha di sektor kehutanan saat ini sudah jauh lebih baik. Kalau sudah memenuhi sertifikasi, pasti hutannya lestari dan legal, bukan dari kayu abal-abal," ujar Ristianto.
Jaga Iklim Investasi
Kapolda Gorontalo Irjen Pol Drs. Pudji Prasetijanto Hadi menyatakan komitmennya untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat demi menciptakan iklim investasi yang kondusif di Gorontalo, sehingga investor yang ingin masuk merasa nyaman, aman dan tidak diganggu oleh yang lain.
“Ini tugas kami sebagai Polri, aparat penegak hukum, menjaga, mengawal investor supaya merasa aman dan nyaman di Gorontalo,” kata Kapolda dalam sambutannya di acara FGD.
Iklim investasi yang kondusif bagi investor ini mengingat Provinsi Gorontalo masuk 10 besar provinsi termiskin di Indonesia.
“Saya ingin Gorontalo bersaing, karena sumber daya alam Gorontalo sangat besar, ada emas, hutan, perkebunan, dll. Kalau kita bisa kelola dengan baik, Gorontalo bisa bersaing dengan provinsi lain,” kata Kapolda.
Potensi Wood Pellet
Ristianto Pribadi melanjutkan, Provinsi Gorontalo sebetulnya memiliki potensi yang besar untuk industri wood pellet. Sebab, Gorontalo memiliki pabrikasi wood pellet terbesar di Indonesia dengan total kapasitas produksi sebesar 1,14 juta metrik ton per tahun.
Sementara kapasitas produksi wood pellet di provinsi lain hanya berkisar 5.000 - 200.000 metrik ton per tahun.
Gorontalo juga memiliki keunggulan dari sisi geografis. Saat ini, target pasar wood pellet Gorontalo adalah Jepang dan Korea Selatan.
Jarak kedua negara tersebut lebih dekat dengan Gorontalo dibandingkan daerah lain sehingga akan menghemat waktu dan ongkos pengiriman.
"Kita harus berbangga dengan Gorontalo. Ini yang harus kita optimalkan untuk membangun dan mengembangkan ekonomi masyarakat Gorontalo. Jangan sampai investor kapok berinvestasi," imbuh Ristianto.
Pada panel diskusi di acara yang sama, Gubernur Gorontalo yang diwakil Plh. Sekdaprov Gorontalo Handoyo Sugiharto mengatakan tanpa investor sulit untuk membangun Gorontalo, hal ini mengingat pendapatan asli daerah (PAD) Gorontalo yang hanya Rp 500 miliar.
“Kalau ke depan tidak ada sentuhan atau dana dari swasta, maka Gorontalo akan begini-begini terus. Makanya kita harus membuka diri. Kita mempersilahkan investor membangun di Gorontalo," kata Handoyo.
"Jadi ini kebijakan kita dalam rangka penanggulangan kemiskinan khususnya yang miskin ekstrim yang adanya di pedesaan. Dan tantangan lain juga bagaimana menurunkan angka stunting di Gorontalo,” tutupnya.