![]() |
| Perbandingan tutupan hutan sebelum dan sesudah HTI beroprasi di Gorontalo/timurpost.id |
timurpost.id - Beberapa hari terakhir, Media Gorontalo diramaikan dengan kabar miring soal dua perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang disebut-sebut beroperasi tanpa izin.
Isu ini cepat sekali menyebar, apalagi setelah muncul dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten Gorontalo bersama salah satu organisasi masyarakat (Ormas).
Namun, seperti biasa, yang dituduhkan belum tentu benar. Ketika tudingan berhamburan, kita perlu menengok ke dasar, fakta dan dokumen resmi.
Kisah ini berawal dari tudingan terhadap dua perusahaan, PT Gorontalo Citra Lestari (GCL) dan PT Gema Nusantara Jaya (GNJ).
Keduanya disebut beroperasi tanpa izin usaha dan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sejak 2013. Tuduhan itu muncul di ruang publik seolah mereka adalah perambah baru di hutan produksi.
Padahal, menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Gorontalo, tudingan tersebut dinilai tidak berdasar.
Khaerudin, Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan dan KSDAE DLHK Provinsi Gorontalo, menegaskan, dari segi perizinan semuanya sudah lengkap.
"Berdasarkan catatan kami, izin AMDAL sudah diterbitkan sejak tahun 2011 dan disusul dengan penerbitan IUPHHK-HTI.” kata pria yang akrab disapa Heru.
Bahkan Heru bilang, bahwa proses perizinan kehutanan tidak bisa asal jalan di perusahaan tersebut.
“AMDAL adalah syarat wajib. Mustahil izin itu bisa terbit jika dokumen AMDAL belum ada,” tegasnya.
Dalam dunia birokrasi kehutanan, perizinan itu bukan satu lembar kertas. Prosesnya panjang, dari bawah ke atas. Mulai dari kajian teknis oleh dinas provinsi, verifikasi kawasan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), hingga persetujuan pemerintah pusat.
Izin Bukan Sekadar Formalitas
Perubahan regulasi lewat Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) membuat sistem perizinan makin transparan dan efisien. Sejak itu, izin berusaha harus mencakup lebih dari satu bidang.
Heru menjelaskan, kedua perusahaan sudah memperbarui izin mereka sejak tahun 2021, mencakup dua bidang sekaligus, Hutan Tanaman Industri dan Jasa Lingkungan.
"Artinya, mereka bukan hanya menanam pohon untuk bahan baku, tapi juga ikut menjaga fungsi ekologis kawasan hutan," tuturnya.
Luas konsesi pun terbuka, PT GCL mengelola sekitar 46 ribu hektar, sedangkan PT GNJ menggarap 27 ribu hektar. Dari total itu, baru 20 ribu hektar yang aktif ditanami pohon. Masih ada ruang untuk ekspansi, tentu dengan prosedur resmi yang sama ketatnya.
Lebih dari Sekadar Izin
Bicara hutan industri, sebagian orang langsung membayangkan pembabatan liar dan hutan gundul. Padahal, logikanya justru berbalik. Tanpa perusahaan legal, hutan-hutan produksi di Gorontalo akan terbuka untuk perambahan tak terkendali.
Heru menjelaskan, DLHK menilai aktivitas perusahaan dari tiga aspek: ekonomi, sosial, dan ekologis. Dari sisi ekonomi, keberadaan HTE memberi pendapatan bagi negara dan membuka lapangan kerja lokal.
Dari sisi sosial, perusahaan didorong bermitra dengan masyarakat pengelola lahan agar ada keseimbangan manfaat. Sementara dari sisi ekologis, kehadiran HTE justru memulihkan lahan gundul akibat aktivitas lama.
“Dengan adanya perusahaan HTI, lahan-lahan kritis kembali tertanami pohon. Jadi manfaatnya jelas terasa bagi lingkungan,” kata Heru.
Legalitas yang Tak Bisa Dibantah
Mari bicara data. PT GCL memiliki SK Menteri Kehutanan No. 261/Menhut-II/2011, sedangkan PT GNJ mengantongi SK 610/Menhut-II/2011. Keduanya menjadi dasar operasional sah sejak awal.
Perusahaan juga menyesuaikan diri dengan regulasi terbaru. PT GCL kini tercatat dalam SK LHK No. 1110/MENLHK/SETJEN/HPL.0/11/2021, sedangkan PT GNJ di SK 1109/MENLHK/SETJEN/HPL.0/11/2021. Untuk identitas usaha, PT GCL memegang NIB 9120008572316, dan PT GNJ NIB 9120307301936.
Keduanya punya dokumen AMDAL lengkap—bukan baru kemarin dibuat, tapi sudah ada sejak 2009-2010. Bahkan, RKUPH (2023-2032) dan RKTPH (2025) mereka sudah disetujui lewat sistem SIPASHUT self-approval.
Lebih dari itu, kedua perusahaan ini punya sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) — semacam “green passport” internasional yang memastikan pengelolaan hutan dilakukan secara bertanggung jawab.
Sertifikat ini bukan hadiah, tapi hasil audit ketat yang menolak praktik kerja paksa, diskriminasi, dan menegakkan hak pekerja hingga komitmen hijau internasional.
Sering kali, publik hanya melihat satu sisi yang narasinya semacam provokatif. Tapi isu kehutanan tidak bisa dibaca hitam-putih.
Jika benar ada penyimpangan, tentu harus diselidiki. Namun, jika semua dokumen lengkap dan prosesnya sah, maka perusahaan juga berhak atas klarifikasi yang adil.
“Penyesuaian yang dilakukan perusahaan merupakan bagian dari adaptasi terhadap kebutuhan pasar. Itu hal yang wajar selama tetap mengikuti aturan,” tutup Heru.
Dalam konteks ini, PT GCL dan PT GNJ bukanlah simbol kerakusan korporasi, melainkan bagian dari sistem kehutanan modern yang berusaha berdiri di tengah antara ekonomi dan ekologi.
Gorontalo tidak butuh debat kusir tentang siapa yang paling hijau, tapi bukti siapa yang bekerja dengan benar. Kedua perusahaan ini, dengan segala dokumen dan sertifikasinya, justru bisa menjadi contoh bagaimana investasi kehutanan bisa tetap berjalan tanpa merusak lingkungan.
