Mengenal Pohulo’o, Tradisi Gadai Ala Petani Gorontalo dengan Modal Kepercayaan

Ilustrasi Gadai


timurpost.id - Tradisi pohulo’o atau gadai adalah salah satu tradisi yang telah lama berkembang di Gorontalo. Bahkan tradisi ini masih dilakukan oleh masyarakat tanah serambi madinah itu.

Seperti di Kabupaten Gorontalo yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Pada umumnya pendapatan petani diperoleh dari hasil pertanian yang mereka kelola.

Jika dalam prosesnya, lahan pertanian yang mereka kelola tersebut mengalami gagal panen, maka mereka harus siap dengan risiko tidak memperoleh pendapatan. Kondisi itu bahkan  merisaukan petani, takutnya ada kebutuhan petani yang mendesak.

Dengan situasi seperti ini, tradisi pohulo’o ini adalah salah satu alternatif yang dilakukan oleh mereka. Demi mendapatkan uang, mereka rela menggadaikan lahan mereka ke petani lainnya yang tidak mengalami gagal panen.

Hanya dengan modal sebuah kepercayaan, mereka menggadaikan lahan mereka. Bahkan, tradisi pohulo’o sendiri tidak memiliki bukti perjanjian kedua belah pihak seperti yang dilakukan pegadaian atau bank saat ini.

Menurut Ramli Napu, salah satu petani pemilik lahan sawah bahwa, masyarakat pedesaan khususnya yang berprofesi sebagai petani lebih memilih melakukan pohulo’o ketimbang harus ke bank atau lembaga penyedia pinjaman lainnya.

"Tradisi ini memang sudah berlangsung lama, sebelum alat tukar uang diberlakukan," kata Ramli.

Selain itu, tradisi pohulo’o kata Ramli bisa menghindari riba bank dan pegadaian. Modal kepercayaan itulah yang mereka pelihara hingga saat ini.

"Kalau pakai tradisi pohulo’o kan enak, selain jiwa gotong royong terbangun, silaturahmi antar petani juga tetap jalan," ujarnya.

Berbeda dengan perbankan, dalam tradisi pohulo’o penentuan waktu ditentukan oleh pemberi gadai. Sedangkan penerima gadai hanya menyetujui apabila waktu gadainya sesuai.

Nilai gadai pun ditentukan oleh besaran lahan dan jumlah yang diminta oleh pemberi gadai. Jika lahannya besar, maka harga gadainya banyak, tetapi waktunya sedikit.

Sementara, lahan yang besar pinjamannya besar juga. Tetapi waktunya sangat sedikit. Akan tetapi jika pemberi gadai meminjam uang cukup besar maka waktu gadainya banyak. Waktu dan harga gadai tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak.

"Nah, ini yang kami lakukan saat ini. Petani memilih langkah pohulo’o karena menghindari juga denda hingga sitaan bank maupun lainnya," katanya.

"Hanya modal kepercayaan, tetapi hikmah dari tradisi pohulo’o tersebut sangatlah besar," ia menandaskan.

Bisa diambil kesimpulan, jika pohulo’o dalam masyarakat Gorontalo sangat berbeda dengan gadai yang ada pada perusahaan egadaian dan sistem gadai dalam [ekonomi Islam. Karena gadai-menggadai harus mengembalikan uang pinjaman. Sedangkan yang terjadi pada masyarakat hanya berupa sewa menyewa lahan atau dalam Islam dikenal ijarah.