Syam Rizal Abbas |
timurpost.id - Jalan panjang pelaksanaan pemilu yang telah dilaunching 17 Juni 2022, seolah makin “beresonansi” dan mulai memunculkan fenomena dan dinamikanya sendiri. Hal tersebut setidaknya terekam lewat hilir-mudik jejak digital berupa postingan warganet di dunia maya.
Torehan tentang permintaan dan pengharapan yang diikuti kalimat “semoga caleg dapa baca” oleh “warga maya” adalah postingan yang setiap saat wara-wiri di wall Facebook kita.
Meskipun hanya semacam candaan, namun hal ini mesti dimaknai secara serius. Sebab, postingan tersebut bukanlah “creatio ex nihillo”; ia lahir dan mengemuka dari pergumulan sosio-politik dunia nyata kita yang rumit, ruwet dan kompleks.
Lalu, mengapa fenomena itu seolah hanya terdengar nyaring dan menggejala di media sosial? Apa sebabnya?
BERGESERNYA PARTISIPASI POLITIK; DARI KONVENSIONAL KE DIGITAL
Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh lahirnya digitalisasi informasi, berupa masifnya penggunaan media sosial telah mengubah seluruh tatanan hidup manusia; tak terkecuali pada sektor partisipasi politik yang bergeser dari konvensional ke digital.
Media sosial sendiri, setidaknya memiliki 5 karakter utama yang mampu mendorong terjadinya partisipasi politik, karena;
Pertama, Partisipatif; dengan fasilitas dan tools yang berlimpah sehingga memungkinkan publik untuk merespon realitas politik yang mengemuka.
Kedua, Keterbukaan; media sosial segala pikiran dan pembicaraan dapat direspon oleh siapapun, hingga memiliki efek untuk “mentrigger” partisipasi politik.
Ketiga, Perbincangan; media sosial mampu mewadahi percakapan sosial yang interaktif antar penggunanya yang membuatnya memiliki fungsi sebagai “new public sphere”.
Keempat, Komunitas; media sosial memungkinkan terbentuknya komunitas virtual yang berfungsi sebagai “pressure group” dan alat kontrol sosial.
Kelima, Keterhubungan; lewat media sosial, aktivitas-aktivitas fisik manusia yang lambat dan terbatas dapat disederhanakan. Hal ini menjadi alat pacu agar partisipasi politik kita dapat terlaksana dengan baik, mudah dan cepat.
Dari 5 karakter utama itulah, sehingga media sosial dinilai strategis untuk mengelola dan merawat harapan publik untuk dijadikan sebagai tumpuan dalam menyampaikan "uneg-uneg” kepada para (calon) elite (baca: caleg).
Media sosial yang mengusung visi kebebasan dan kesetaraan dianggap “cocok” untuk menyampaikan berbagai bentuk pesan. Sebab, publik dapat berbicara apapun dan berteman dengan siapapun — memangkas batas-batas stratifikasi sosial yang menjadi “penghambat” partisipasi politiknya—.
BAGAIMANA KITA MEMAKNAINYA?
Fenomena tentang “semoga caleg dapa baca” (mungkin) menyiratkan pesan bahwa publik hendak melakukan “test drive” terhadap “kenderaan mayanya”.
Itulah sebabnya, berbagai penggalan opini atau pembicaraan apapun lewat media sosial, mesti dimaknai sebagai suara arus marginal yang selama ini tidak “berbunyi”, dan terpinggirkan oleh arus hegemonik dan dominatif pada media mainstream. Karena, hanya lewat media sosial lah publik membahasakan perasaan dan pikirannya agar kemudian bisa terdengar.
Hal lain yang mesti dimaknai dari fenomena "semoga caleg dapa baca" yakni, publik menginginkan caleg yang (minimal) memiliki kepekaan untuk memahami, memikirkan dan memenuhi hajat hidup kolektif rakyat.
Lebih jauh dari itu, fenomena tersebut (mungkin) sebagai bentuk satire kepada para caleg yang sebentar nanti akan berbondong-bondong datang untuk duduk dan merakyat serta meminta dukungan agar dipilih pada pemilu mendatang.
Bagi caleg, fenomena tersebut mestinya menjadi “alat bantu dengar” bagi sesuatu yang tak terucap; sekaligus medium untuk menangkap kegelisahan rakyat.
Caleg mesti “berbenah” agar tidak lagi mengeksplor “suara rakyat” lewat basis-basis kapital untuk dikonversi menjadi “suara caleg” pada bilik-bilik tempat pemungutan suara.
Kontestasi pemilu mengharuskan caleg menyuguhkan atmosfer persaingan yang lebih sehat dan elegan dengan mengedepankan karakter yang aspiratif, sisi politik yang santun dan bijak, serta memiliki gagasan politik yang terukur, sistematis, dan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat.
Caleg wajib memaknai arena politik bukan sebagai pertarungan “menang-kalah”, namun sebagai sarana pengabdian kepada rakyat; karenanya ia mesti dipandang bukan sebagai “tujuan” namun sebagai “jalan”.
Lebih jauh dari itu, caleg harus menghadirkan konsep politik dengan “definisi” yang lebih rendah hati, yang karenanya berharga, namun jelas tak sempurna.
Terakhir, sebelum menyudahi tulisan ini, dalam hati paling dalam, saya bermunajat: semoga para caleg akan selalu menaati segala peraturan dan perundangan yang ada, serta apabila terpilih, akan benar-benar amanah terhadap sumpah janji jabatannya. - Syam Rizal Abbas
Simak juga video pilihan berikut: